"Back to Basics"

"Back to Basics"

Sri-Edi Swasono
Diberitakan oleh harian ini (SP, 6/4) bahwa puluhan jenderal mendukung Prabowo lantaran Prabowo punya komitmen untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli. Letjen (Purn) Haryoto SP menegaskan bahwa "...yang punya komitmen terhadap UUD 1945 dan Pancasila hanya Partai Gerindra dan Prabowo...." (SP, 6/4).

Saya senang mendengar penegasan dan genderang juang Letjen (Purn) Haryoto SP ini. Agaknya Haryoto SP saking cintanya pada UUD 1945 dan Pancasila mengatakan demikian secara kelewat eksklusif, terkait dengan partainya Prabowo saja. Jadinya malah tidak pas. Partai-partai lain, bahkan yang lebih awal bicara itu dan mengajak pihak lain demikian, adalah satu partai baru yang didirikan pada Januari 1999 oleh Jenderal (Purn) Edi Sudradjat, hingga kini partai ini tetap hidup tegar dipimpin seorang anak Proklamator dan mengumandangkan Doktrin Kebangsaan dan Kerakyatan-nya UUD 1945 asli, menegakkan Keadilan dan Pancasila. Saya pun mencatat para sesepuh TNI seperti Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Yogi Supardi, Letjen (Purn) Sayidiman, dan mereka yang tergabung dalam Barnas pimpinan Letjen (Purn) Kemal Idris juga berketegasan demikian.

Saya sebagai anggota MPR pada waktu itu menentang amendemen UUD 1945 dilakukan secara struktural-substans ial dan meminta perlunya kehati-hatian (sikap kenegawaranan) dalam melakukan amendemen sebagaimana saya tulis di harian ini (SP 28/6/99; SP 11/10/99; SP 22/10/99). Saya pun mencatat, bahkan terlibat langsung dalam menyusun "sikap politik" para anggota MPR-RI tanggal 7 November 2001, yang terang-terangan menolak sistem bikameral, sebagai bagian dari penolakan terhadap perubahan mendasar dari UUD 1945. (Sikap politik ini tidak sempat ditulis dengan mesin ketik karena kejar-mengejar dengan waktu, saya sendiri yang menulisnya dengan tulisan tangan). Pada daftar penandatangan (190 orang - seluruh anggota MPR) urutan pertama adalah sesepuh dan tokoh nasionalis Abdul Madjid, diikuti Imam M Amin Aryoso, Dimyati Hartono. dan saya sendiri pada urutan kelima dan sseterusnya.

Sikap politik ini ditutup dengan kalimat: "...Perombakan yang bertentangan dengan prinsip dasar demikian itu secara mendasar merusak keseluruhan sistem kenegaraan dan pemerintahan Negara. Sedang tugas MPR di dalam Sidang Tahunan adalah untuk menyempurnakan UUD 1945 dalam rangka memperkukuh NKRI sesuai dengan tuntutan Reformasi, tidak untuk membentuk UUD baru... seperti mengubah sistem pemerintahan Negara .... Berdasar alasan tersebut di atas, kami para anggota MPR Lintas Fraksi menyatakan menolak dan tidak bertanggung jawab atas usaha-usaha perombakan UUD 1945 seperti di atas...".

Kita pernah mencatat pula bahwa ada Kesempatan 11 fraksi untuk dijadikan Pedoman dalam mengamendemen UUD 1945. Pertama, mempertahankan Pembukaan UUD 1945. Kedua, mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mempertahankan sistem pemerintahan presidensial. Keempat, menegakkan prinsip check-and-balance. Kelima, memindahkan ketentuan-ketentuan normatif pada Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD. Keenam, perubahan UUD 1945 dilakukan dalam bentuk addendum. Pedoman ini diabaikan MPR sendiri. Penjelasan UUD 1945 boleh dihilangkan sama sekali.

Skenario Politik

Liberalisme yang berkecamuk di dalam kehidupan bernegara ini sebenarnya berawal dari empat kali amendemen UUD 1945 yang sifatnya perombakan secara mendasar. Para komprador liberalis tentu ikut bertepuk tangan dan bahkan menjadi booster bagi "liberalisasi" UUD hasil amendemen. Amendemen adalah skenario politik, suatu national disempowerment, akal-akalan kekuatan global - suatu silent take-over atas Demokrasi Pancasila Indonesia.

Banyak UU, terutama di bidang ekonomi yang lahir berdasar UUD hasil amendemen ini, membuka lebar terhadap praktik liberalisme ekonomi. Akibatnya "Daulat Pasar" menggusur "Daulat Rakyat".

Sekali lagi saya bergembira membaca berita di harian ini, bahwa puluhan jenderal mendukung dapat kembalinya lagi konstitusi kita ke UUD 1945 naskah asli serta tuntutan ditegakkannya kembali Pancasila. Disebutkan oleh harian ini nama-nama para jenderal purnawirawan patriotik ini seperti Yogi Supardi (yang telah konsisten dan teguh prinsip), Haryoto SP, Haris Sudarno, Asril Tanjung, Suwandi, Sugito, Glen Kauripan, Moerdiono, Ryamizard Ryacudu, Tyasno Sudarto, Harsudiono Hartas, M. Basofi Sudirman, dan seterusnya. Ini menebus penderitaan lama saya terhadap sikap Fraksi ABRI, yang menyatakan abstain terhadap perlu tidaknya UUD 1945 diamendemen, yang saya anggap ABRI yang saat itu ambivalen terhadap Sapta Marga-nya sendiri. Hanya marsose saja yang boleh abstain.

Bagi saya, Ketua MPR telah kebobolan (atau membobolkan diri?). Ia justru melepaskan posisi MPR sebagai die Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes - dihilangkanlah posisi sentral MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Ibarat Burung Garuda dicabuti bulu sayapnya oleh srati-nya sendiri.

Kita mendengar Presiden SBY telah menyatakan tentang kemungkinan amendemen UUD 1945 dapat diamendemen ulang. Beginilah hendaknya back-to-basics to design the future, to achieve progress. Kita tunggu matahari terbit di Timur.

Penulis adalah Ketua Dewan Pakar Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

Kamis, 09 April 2009 0 komentar

0 komentar:

Jumlah Kunjungan

DAFTAR ISI