Artikel « Nahdlatul Ulama Cabang Libya

Artikel « Nahdlatul Ulama Cabang Libya
MU’TAZILAH DAHULU DAN KINI

Muchib Aman Aly

Pada tahun 100H/718M telah muncul aliran baru dalam teologi islam yang disebut aliran Mu’tazilah yang dibidani oleh Washil bin Atho’ murid Hasan al-Bashri, Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan–pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil aqliyah dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Selain nama Mu’tazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok ahluttauhid, kelompok ahlul adil, dan lain-lain. Sementara pihak modern yang berseberangan dengan mereka menyebut golongan ini dengan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.

Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah berkenaan soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut aliran Khawarij mereka tidak dapat dikatakan sebagai mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi dua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha yang ketika itu menjadi murid Hasan al Basri, seorang ulama terkenal di
Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi diantara keduanya. Oleh karena diakhirat nanti tidak ada tempat diantara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan kedalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Wasil bin Atha’, yang kemudian menjadi salah satu doktrin Mu’tazilah, yakni almanzilah baina al manzilataini (posisi diatara dua posisi).Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya dikalangan mesyarakat awam kerena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis itu. Alasan lain adalah kaum Mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW. dan para shahabatnya.Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan intelektual, pada masa pemeraintahan khlalifah al Ma’mun, penguasa Abbasiah priode 198-218 H. kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh setelah al-Ma’mun menyatakannya sebagai madzhab resmi negara, hal ini desebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memakasakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham khalqul qur’an. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu makhuk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Qur’an itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik.Khalifah Al-Ma’mun menginstruksikan supaya dilaksanakan pengujian terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al Qur an adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting didalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadi. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemeritahan yang disiksa, diantaranya adalah Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah, seperti al Khuzzai dan al Buwaiti. Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al Mutawakkil berkuasa pada masa 232-247 H menggantika al wasiq, khalifah pada masa 228-232 H.Dimasa al Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al Mutawakil membatalkan mazhab Mu’tazilah sebagi mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.Selama berabad-abad kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini adalah buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan Islam. Sebaliknya, pengetahuan tentang paham-paham mereka hanya didapati pada buku-buku lawannya, seperti buku-buku yang ditulis oleh pemuka asy’ariyah. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari diberbagai perguruan Islam, seperti di Al-Azhar.Neo mu’tazilahSeiring dengan semakin gencarnya para pemikir barat (orientalis) mempelajari islam dan kemudian menyuguhkannya pada para pemikir- pemikir islam modern seperti Hasan Hanafi, nasr abu zaid, .Arkoun dll, faham mu’tazilah kini muncul dengan wajah barunya, bahkan kini sudah merambah ke tokoh-tokoh muslim Indonesia, kemudian melempar isu-isu yang nakal yang dapat merusak keimanan setiap muslim, betapa tidak beberapa dari mereka bahkan secara terang-terangan sudah mempertanyakan keotentikan Alqur’an dan menganggap semua agama benar (pluralisme agama). Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu salah satu tokoh islam liberal Ulil Abshar secara tegas menyatakan bahwa kaum liberalis adalah penerus aliran mu’tazilah, bahkan kalau melihat pemikiran-pemikirannya mereka justru melebihi aliran mu’tazilah, banyak pemikir liberal mencoba merelatifkan nilai-nilai ajaran islam dengan menyamakannya seperti budaya lain. Hal ini dilakukan dangan merelatifkan nilai kenabian Muhammad SAW., dengan memandang beliau sama saja dengan reformis-reformis lainnya, Muhammad SAW itu adalah manusia biasa tak lebih dan tak kurang kata Hamid Basyaib unntuk itu marilah kita belajar untuk beragama secara dewasa, kehebatan beliau, yang dikait-kaitkan dengan “keajaiban-keajaiban” sudah tidak produktif untuk direproduksi terus menerus bahkan bagi konsumsi anak-anak, dan juga merelatifkan Alqur’an, mereka mengatakan Alqur’an adalah produk budaya, karena ia terbentuk dalam sebuah realitas budaya dan mnggunakan bahasa budaya ketika itu . Alqur’an itu kata Arkoun, persis seperti bible, ia merupakan kumpulan kata-kata tuhan yang diberikan kepada nabi Muhammad dalam bahasa manusia (bandingkan dengan ide Alqur’an adalah makhluq yang diusung oleh Mu’tazilah).Teologi inklusifDalam buku Teologi inklusif Cak Nur ditulis : Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah World view Al qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap pasrah diri kehadirat tuhan. (QS 29:46). Selanjutnya dikatakan : “Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur”. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya bagi penganut kitab suci baik yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita – baik sebagai orang Islam, Kristen, Yahudi - yang benar-benar beriman kepada tuhan dan hari kemudian serta berbuat kebaikan maka akan mendapat pahala di sisi tuhan (QS.2:62, 5:69). Dengan kata lain sesuai firman tuhan ini, terdapat jaminan teologi bagi umat beragama apapun “agama”-nya, untuk menerima pahala (surga) dari tuhan. (Bayangkan betapa inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini. ). Seorang aktivis Muhammadiyyah menulis untuk sebuah media massa
Indonesia: “Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama baik Hinduisme, Budhisme, Yahudi, Kristen, Islam maupun lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dimana-mana dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralisme Gandhi seperti pohon yang memiliki banyak cabang tapi berasal dari satu akar. Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu mari kita memproklamirkan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan (sunnatulloh) yang tidak mungkin berubah, dan karena itu mustahil pula kita melawan dan menghindar. Sebagai muslim kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum tuhan. (Jawa Pos 11 Januari 2004) . Teologi inklusif didasari oleh sikap relatifisme (‘Indiyyah) yang menganut faham tidak ada kebenaran mutlak , sumber pemikiran ini apabila diurut akan berujung pada aliran Sufasta’iyyah (Sophis), dalam aqidah annasafi dinyatakan حقيقة الأشياء ثابتة والعلم بها متحقق خلافا لسفستائية (Semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pngetahuan akan dia adalah yang sebenarnya kecuali menurut kaum sufasta’iyyah) .Ide dekonstruksi dan reduksi makna Islam berjalan beriringan dengan propaganda agar pemeluk agama menghilangkan pikiran dan sikap merasa benar sendiri . Jika seorang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain adalah salah , maka kita bertanya, untuk apa ada konsep teologi Islam?. Jika seorang tidak yakin dengan kebenaran yang dibawanya – karena semua kebenaran dianggapnya relatif – maka untuk apa ia berdakwah atau berada dalam organisasi dakwah? Untuk apa ia menyeru orang lain mengikuti kebenaran dan menjauhi kemungkaran , sedangkan ia sendiri tidak meyakini apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah. Pada akhirnya, golongan “ragu-ragu” akan “berdakwah” mengajak orang untuk bersikap “ragu-ragu” juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis “keyakinan” baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar. Upaya dekonstruksi dan reduksi makna Islam terus berjalan dan ironisnya jika itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh cendikiawan muslim, ormas Islam yang bukan hanya dianggap mempunyai otoritas dalam keilmuan Islam, tetapi juga dihormati di lembaga-lembaga keagamaan, dan yang lebih ironis lagi tidak banyak kalangan Ulama dan cendikiawan bahkan kalangan pesantren yang menganggap hal ini sebagai masalah serius bagi perkembangan masa depan umat atau dakwah Islam.PenutupSaya masih ingat, satu kali ketika berdiskusi dengan Masdar Mas’udi salah satu tokoh islam liberal dia berkata “OK saat ini ide-ide kami tidak diterima oleh pesantren tapi tunggu sepuluh atau dua puluh tahun lagi saya yakin justru pesantrenlah yang menjadi corong ide liberal” . Sekarang saatnya pesantren berada pada garis terdepan mempertahankan Aqidah Ahlus-sunnah Wal jamaah, sebagaimana telah dilakukan oleh para imam-imam terdahulu ketika merespon munculnya beberapa faham yang menyimpang, Khazanah Islam masih tersimpan dengan baik di berbagai perpustakaan dan lembaga-lembaga pendidikan, kini saatnya kita buka kembali dan bangun dari tidur yang panjang.

Selasa, 13 Mei 2008 0 komentar

0 komentar:

Jumlah Kunjungan

DAFTAR ISI